Matanya terus meneteskan air mata. Turun, menuruni kedua pipinya
yang putih. Terus ke dekat dagunya. Dan jatuh perlahan. Dari setiap
tetesan air matanya, ia merasa bersyukur atas pertolongan Allah. Allah
telah mendamaikan hatinya yang kesepian. Allah telah menenteramkan
hatinya yang gundah. Ia merasa tak sendiri lagi. Karena Allah selalu
bersamanya.
Bibirnya basah karena terus berdzikir, memuji Asma
Allah. Ia pejamkan kedua matanya untuk mentafakuri betapa besar kasih
sayang Allah padanya. Ia merasa malu, bahwa selama ini ia jauh dari
Allah. Ia tak pandai mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Dan ia tak pandai
memanfaatkan waktu yang diberikan Allah padanya. Ia memohon ampunan
pada Allah. Berharap semoga dosa-dosanya dihapus.
Di atas sebuah
sajadah, ia bersimpuh. Tunduk dan merasa takut pada Allah. Ada sebuah
rasa penyesalan yang begitu besar yang ia rasakan. Karena dulu ia
pernah putus asa dalam menjalani kehidupan. Kehidupan yang waktu itu
menurutnyabegitu kejam, dan tak adil baginya. Betapa tidak ? Ibunya
yang begitu ia cintai meninggal dunia ketika ia berumur 12 tahun. Ia
merasa sangat kehilangan. Kehilangan seseorang yang telah menjadi
bagian dari hidupnya.
Ia menangis. Air matanya tak terbendung
lagi. Ia begitu sayang pada ibunya. Waktu itu, ia baru merasakan betapa
sedih dan sengsaranya kehilangan seorang ibu. Ia begitu menyesal. Tak
banyak bakti yang ia berikan pada ibunya. Dan waktu itu, ia hanya bisa
melihat jenazah ibunya yang terbujur kaku dan dibalut kain kafan,
terbaring di hadapannya. Air matanya terus meleleh. Ia hanya bisa
menshalati ibunya dan mengantarkan jenazah ibunya ke peristirahatan
terakhirnya.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di usianya yang
ke-15, ia harus berpisah dengan Ayahnya yang tiada. Ia merasa terpukul.
Dan hampir jatuh dalam kehidupan yang begitu suram. Ia begitu kesepian.
Merasa bahwa ia hidup sendirian. Walaupun keluarganya bisa disebut
keluarga besar, namun ia begitu kesepian.
Ia memiliki 7 orang
kakak yang telah menikah dan mempunyai kehidupan masing-masing, serta
seorang adik perempuan yang berumur 12 tahun.
Tadinya, ia
merasakan seperti ada sebuah harapan yang menyinari kehidupannya.
Ya.... kakak-kakaknya. Kakak-kakak yang mungkin bisa menyayangi dan
memberi semangat padanya juga adiknya. Namun mereka malah mementingkan
harta warisan peninggalan ayah dan ibunya. Sehingga pertikaian dan
permusuhanlah yang menghiasi hubungan kekeluargaan mereka.
Hal
ini membuatnya semakin putus asa dari kehidupan. Sampai-sampai adik
perempuannya, Nisa, berkata kepadanya, ”Kak Ilham, Nisa nggak tahan
hidup seperti ini. Nisa nggak kuat...”.
”Sabar yah dik, kamu tak
sendirian. Kan masih ada Kak Ilham di sini”, jawab Ilham yang berusaha
menenangkan Nisa. Air matanya pun meleleh. Ia merasa kasihan pada
adiknya. Walaupun saat ini ia sama-sama merasa terpuruk seperti Nisa
adiknya.
Tak cukup sampai di situ penderitaannya. 4 tahun
kemudian, Nisa mengalami depresi yang cukup berat. Ilham semakin
terpuruk. Namun, kali ini ia mencoba untuk bersabar, walaupun ia rasa
sangat berat. Ia berusaha mendatangi kakak-kakaknya yang rumahnya
sedikit jauh, untuk meminta bantuan. Ia berharap kakak-kakaknya mau
memberikan perhatian dan kasih sayang pada Nisa, serta mau menyisihkan
uang untuk membantu pengobatan Nisa.
Namun tak disangka, mereka
malah menjauhi Nisa, dan berkata pada Ilham, ”kamu tahu kan ? Nisa juga
punya warisan. Jadi, buat apa kami menyisihkan uang untuk pengobatannya
? buat makan sehari-hari saja kami pas-pasan, gimana mau bantu Nisa ?”
Hati
Ilham langsung pecah setelah mendengar perkataan kakak-kakaknya. Ia
merasa seperti orang yang paling menderita di dunia. Ia berkata dalam
hatinya, ”Mengapa hidup ini tak adil ?”. Lengkap sudah penderitaannya.
Akan
tetapi, Allah memberikan cahaya harapan pada Ilham. Hati Ilham begitu
tertegun dan bergetar setelah bertemu dengan temannya, Hizbi. Ia
memberikan nasehat pada Ilham, ”Temanku, aku ikut prihatin dan sedih
atas musibah-musibah yang telah menimpamu. Dan mungkin aku pun tak
sanggup bila Allah menimpakan musibah-musibah tersebut padaku. Kau
adalah orang yang kuat. Ingatlah, Allah itu tidak akan memberikan beban
hidup pada seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya. Allah itu
tidak akan menzhalimi kamu sedikit pun. Musibah-musibah itu hanyalah
ujian hidup dari Allah. Dan Allah memberikan ujian kepada hamba-Nya
karena Alah sayang pada hamba-Nya. Janganlah kamu putus asa dari
mengharap rahmat Allah. Bersabarlah. Masih ada Allah yang setia
bersamamu. Masih ada aku yang selalu mendukungmu. Dan masih ada adikmu
yang kini perlu kau tolong. Berilah perhatian padanya. Ingatlah, Allah
bersama kita. selalu”.
Hati Ilham yang keras, jadi luluh. Ia
seperti mendapatkan seutas tali yang dapat menarik tubuhnya dari dasar
sumur yang dalam. Ia seperti mendapatkan cahaya yang menyinarinya saat
ia terjebak dalam gua yang sangat gelap. Ia seperti mendapatkan sayap
saat ia jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Ia mendapatkan secercah
harapan saat ia terjebak dalam kehidupan yang dipenuhi keputus-asaan.
Ia berusaha untuk bangkit. Dan terus berjalan ke depan. Untuk sebuah
harapan.
Hari demi hari, ia isi kehidupannya dengan menuntut ilmu
agama. Ia pelajari. Ia pahami. Dan ia amalkan. Ia terus mendekatkan
diri pada Allah. Ia jadikan Allah sebagai tempat kembalinya segala
urusan. Dan Allah pun memberikan pertolongan-Nya pada Ilham. Itu adalah
sebuah keajaiban. Keajaiban yang tiada lain adalah dengan membaiknya
kondisi mental Nisa yang mengalami depresi. Hal itu membuat Ilham
semakin bersemangat dalam menjalani hidup. Ia yakin pada suatu ayat
yang berbunyi, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
akan membuat segala urusannya jadi mudah”.
”Al-Hamdulillah, Yaa... Allah”, bisiknya dalam hati. Kini Ilham merasa tak sendiri lagi. Karena Allah selalu bersamanya.
Malam
itu dalam Tahajudnya, ia memasrahkan dirinya pada Allah. Ia terus
beristighfar dan bertaubat. Ia telah sadar bahwa hidup ini harus
disyukuri. Ujian hidup yang menimpanya dulu itu tidak ada apa-apanya
bila dibandingkan dengan ujian hidup yang diberikan pada Nabinya, Nabi
Muhammad saw. Beliau ditinggal ayahnya ketika beliau masih berada dalam
kandungan. Sehingga belum sempat melihat wajah ayahnya. Lalu ketika
berumur 2 tahun, beliau ditinggalkan oleh ibunya yang tiada di desa
Abwa. Tak cukup sampai di situ, beliau juga ditinggalkan oleh kakeknya,
pamannya, dan juga istrinya yang sangat beliau cintai. Namun beliau
tetap tegar.
Ilham begitu malu pada dirinya sendiri. Ia merasa
bahwa dirinya bukan orang yang paling menderita di dunia. Jika hidup
direnungi, maka menurutnya hidup adalah kasih sayang dari Sang Maha
Penyayang. Bersyukurlah. Syukurilah hidupmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar